Sinarrakyat.com – Tahun 2025 memberikan sejumlah tantangan baru bagi Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto.
Berbagai permasalahan yang belum terselesaikan oleh Pemerintah sebelumnya seperti permasalahan ekonomi, politik, hukum dan permasalahan sosial lainnya, menjadi PR besar yang harus diselesaikan oleh Pemerintah hari ini.
Di berbagai media baik itu cetak maupun elektronik sedang hangat membahas berbagai topik mengenai rencana kebijakan Pemerintah khususnya Presiden Prabowo Subianto di awal tahun 2025 mendatang.
Salah satu topik hangat yang dibahas yaitu mengenai rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% yang akan diterapkan pada 1 Januari 2025 mendatang.
Rencana kebijakan Pemerintah tersebut menuai banyak kritik dari berbagai pihak baik itu dari kalangan Akademisi, Praktisi, Ekonom, Pengusaha bahkan Masyarakat awam.
Landasan Hukum Pemerintah hari ini dalam rencana menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% berdasarkan pada UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang disahkan dalam rapat paripurna DPR RI pada tanggal 7 Oktober 2021 dan selanjutnya disahkan kembali oleh Presiden RI sebelumnya yakni Presiden Joko Widodo pada tanggal 29 Oktober 2021.
Adapun tujuan dari UU Nomor 7 Tahun 2021 tersebut yaitu 1) Meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, 2) Mendukung percepatan pemulihan ekonomi, 3) Mengoptimalkan penerimaan negara, 4) Mewujudkan sistem perpajakan yang lebih berkeadilan dan berkepastian hukum, 5) Melaksanakan reformasi administrasi dan kebijakan perpajakan, 6) Memperluas basis perpajakan, 7) Meningkatkan kepatuhan sukarela wajib pajak.
Apa Dampak Positif dari Kenaikan PPN Sebesar 12%
Mengutip dari laman resmi Kementerian Keuangan Direktorat Jenderal Pajak, menyatakan dengan adanya kenaikan PPN sebesar 12% dapat membantu mengoptimalkan penerimaan pajak yang lebih stabil bagi negara.
Dengan adanya kenaikan PPN sebesar 12% dapat mendorong peningkatan pendapatan negara yang pada akhirnya memungkinkan Pemerintah dapat menyusun APBN lebih ideal.
Dampak positif lainnya yaitu sebagai upaya menstabilkan perekonomian negara. Hal ini dapat terjadi karena dengan adanya peningkatan tarif akan memperbesar penerimaan pajak yang secara langsung meningkatkan rasio pajak negara. Sehingga semakin memperkuat sumber pendanaan negara.
Selain itu, dengan adanya kenaikan tarif PPN sebesar 12% ini berpotensi mendorong pertumbuhan ekonomi. Dengan meningkatnya pendapatan negara, pembangunan infrastruktur dan program pembangunan jangka panjang lainnya dapat terealisasi dengan lebih baik. Hal ini akan menciptakan lapangan kerja serta fasilitas yang mendukung kebutuhan rakyat.
Apa Dampak Negatif dari Kenaikan PPN Sebesar 12%
Menurut Pakar Ekonomi dari Universitas Indonesia, Dr. Irwan Setiawan, seperti yang dimuat Kompas, menyatakan dengan adanya rencana Pemerintah menaikkan tarif PPN sebesar 12% akan berpotensi menekan daya beli rakyat, terutama pada kelompok rakyat menengah ke bawah.
Menurut Direktur Center of Economic and Law Studies, Bhima Yudhistira, seperti yang dimuat CNBC Indonesia, menyatakan dengan adanya rencana Pemerintah menaikkan tarif PPN sebesar 12% dapat memperlambat pemulihan ekonomi. Menurutnya daya beli rakyat akan menurun karena tekanan harga barang, sementara UMKM menghadapi kesulitan menyesuaikan margin keuntungan.
Menurut Pakar Ekonomi Universitas Airlangga (UNAIR), Prof. Dr. Sri Herianingrum SE MSc, seperti yang dimuat dalam laman resmi UNAIR, menyatakan dengan adanya rencana Pemerintah menaikkan tarif PPN sebesar 12% akan berpotensi mengurangi aktivitas pada sektor ekonomi mikro. Selain itu Prof Sri juga menyatakan dengan adanya kenaikan tarif PPN sebesar 12% akan menyebabkan menurutnya daya beli rakyat akibat dari kenaikan sejumlah harga barang kebutuhan pokok.
Menurut Pakar Ekonomi Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya), Dr. Arin Setyowati, seperti yang dimuat dalam laman resmi UM Surabaya, menyatakan dengan adanya rencana Pemerintah menaikkan tarif PPN sebesar 12% akan berdampak terhadap daya beli rakyat dan stabilitas konsumsi domestik. Menurutnya hal tersebut dikarenakan dengan adanya kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang lebih tinggi dapat meningkatkan tarif harga barang dan jasa, akibatnya konsumen harus membayar lebih untuk kebutuhan sehari-hari.
Apakah Aturan Kenaikan Tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Sebesar 12% Dapat di Batalkan?
Berdasarkan UUD 1945 Pasal 22 Ayat 1 yang berbunyi “Dalam hal ihwal kepentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan Pemerintah sebagai pengganti undang-undang”.
Walaupun Presiden di berikan wewenang untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU), akan tetapi mekanisme penerbitan PERPU tersebut juga diatur di dalam UUD 1945 Pasal 22 Ayat 2 dan 3.
Adapun Pasal 22 Ayat 2 UUD 1945 tersebut berbunyi “Peraturan Pemerintah itu harus mandapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan berikutnya”.
Selanjutnya pada Pasal 22 Ayat 3 UUD 1945 berbunyi “Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan Pemerintah itu harus dicabut”.
Mengacu dari UUD 1945 Pasal 22 Ayat 1-2 dan 3 tersebut, sangat memungkinkan Pemerintah dalam hal ini Presiden Prabowo Subianto untuk membatalkan aturan terkait kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Sebesar 12% melalui menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU).
Meskipun wewenang tersebut diberikan oleh UUD, akan tetapi kesepakatan bersama antara Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat menjadi kunci utama dalam menentukan keputusan yang dapat berdampak luas terhadap nasib rakyat.
Kesepakatan tersebut diharapkan tidak hanya mencerminkan proses politik, tetapi juga memastikan bahwa kebijakan yang diambil secara bersama ini memiliki legitimasi yang kuat serta berdasar aspirasi rakyat.
Kebijakan Pemerintah tentang kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Sebesar 12% ini, telah menuai pro dan kontra di berbagai kalangan.
Di satu sisi, kebijakan ini dianggap sebagai langkah untuk meningkatkan penerimaan negara demi mendukung program pembangunan dan pemulihan ekonomi.
Sedangkan di sisi lain kebijakan tersebut dikhawatirkan dapat menambah beban ekonomi bagi rakyat, terutama pada kelompok menengah ke bawah yang sudah terdampak oleh inflasi dan kenaikan harga kebutuhan pokok.
Dalam situasi ini, penerbitan PERPU dapat menjadi langkah strategis untuk menyeimbangkan antara kebutuhan fiskal negara dengan beban ekonomi rakyat.
Comments are closed.